Plus Minus Kelulusan Siswa Ditentukan Sekolah

Plus Minus Kelulusan Siswa Ditentukan Sekolah

Oleh : Feri Rustandi, S.Pd

(Kepala SMAIT Assyifa Boarding School)

Para murid, pihak sekolah,  orang tua, sebagian besar menyambut baik terkait keputusan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa hasil ujian nasional (UN) tidak lagi ditentukan oleh pemerintah melainkan kelulusan siswa pada suatu jenjang  pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada satuan pendidikan bersangkutan. Keputusan tentang ini dimuat dalam Permendikbud Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik.

Setelah sekian lama menjadi trending topik pro-kontra terkait penetapan kelulusan UN, al hasil setelah pergantian menteri dan kabinet baru akhirnya terwujud juga sebagian besar harapan masyarakat terkait kelulusan ujian nasional, tahun sebelumnya pelaksanaan UN seolah menjadi momok menyeramkan  bagi siswa kelas akhir karena setiap tahunnya tidak sedikit bahkan ribuan siswa di seluruh Indonesia harus mengulang ujian nasionalnya di tahun berikutnya alias tidak lulus UN, tahun ini mungkin tidak akan seperti itu lagi karena tantangan kelulusan UN ditentukan oleh sekolah, tentu mungkin di pandang lebih ringan standarnya sekalipun akan berbeda di masing-masing sekolah sesuai dengan karakterisitik dan kemampuan sekolah tersebut.

Disisi lain penulis memandang bahwa kelulusan UN ditentukan oleh pemerintah tidak salah juga sepenuhnya karena hasil nilai UN bisa dijadikan salah satu refleksi mutu pendidikan Indonesia, dengan menentukan standar nilai minimal, tentu itu menjadi targetan dan tantangan siswa untuk bisa mencapainya. Terlihat keseriusan siswa dalam persiapan mengahadapi UN, dari mulai pengayaan yang dilakukan oleh sekolah, sekitar 6-12 bulan sebelum pelaksanaan UN, mengikuti bimbingan belajar, private dan lain sebagainya, secara disadari bahwa ada semangat dan tekanan bagi siswa untuk bisa mencapai standar nilai minimal dan nilai lebih/prestatif, bahkan menghalalkan segala cara dari oknum siswa bahkan dari oknum pihak sekolah agar siswanya bisa lulus semuanya. Sekalipun berbagai evaluasi dari kalangan tertentu terkait standar pemerintah yang diberlakukan untuk seluruh siswa dan sekolah di seluruh nusantara tanpa melihat kualitas dan kesiapan terutama di beberapa daerah yang tidak bisa disamakan perlakuannya, karena pelayanan pendidikan pun tidak sama bahkan tidak sedikit di bawah standar seperti standar sarana, kualitas dan kuantitas guru dan lain sebagainya. Pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah bertahun-tahun hanya di tentukan oleh ujian nasional yang hanya 3-4 hari. Disisi inilah yang banyak menuai kritik dan keberatan. Mungkin penulis yakin pihak terkait dalam hal ini pemerintah yang diwakili kemdikbud kabinet sebelumnya sudah menyiapkan regulasi solutif akan setiap item kelemahan dan kekurangannya, Ya…pepatah masih bisa di jadikan dalil “ganti menteri pasti ganti kebijakan”  dan terbukti kurikulum 2013 yang baru saja di launching dalam hitungan bulan sudah di pending bahkan harus kembali ke kurikulum KTSP 2006, sekalipun di beberapa sekolah tidak tunduk kepada intruksi kemdikbud karena kurikulum 2013 dipandang relevan dan terkesan sudah tanggung diberlakukan, bahkan di Provinsi Jawa Barat hampir semua sekolah kurikulum yang di pakai adalah Kurikulum 2013.

Dalam pandangan kacamata lain, bahwa kelulusan UN diserahkan ke satuan pendidikan ini di pandang adil dan solutif karena tidak bisa setiap sekolah di samakan standarnya dari mulai perbedaan kualitas, latar belakang dan keunggulan lokal. Artinya setiap sekolah diberikan kewenangan penuh untuk menentukan nasib siswa-siswinya, Sekolah yang bersangkutan berhak membuat standar ketetapan kelulusan sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan sekolah tersebut dengan tetap mengacu kepada POS UN 2015 dari pemerintah yang memberikan panduan rentang bobot persentase nilai Ujian Sekolah dan rata-rata nilai rapor. Namun hal ini tidak boleh diterjemahkan secara bebas jangan sampai ada pemikiran seluruh siswa harus lulus semuanya sekalipun nilainya jauh di bawah nilai standar atau ujian nasional dianggap hanya sebagai formalitas belaka, bukankah siswa bisa mengulang tahun berikut ketika nilainya kurang bahkan nilai ujian nasional dijadikan pertimbangan kelanjutan sekolah ke jenjaang lebih tinggi. Justru dengan adanya kebijakan ini pihak sekolah di uji untuk bisa lebih objektif dan jujur dalam penentuan kelulusan, sehingga kepercayaan pemerintah kepada sekolah tidak di sia-siakan.

Yang terpenting jangan sampai pelaksanaan UN tidak dipersiapkan sebaik mungkin dari mulai proses belajar mengajar yang optimal dan berkualitas, pengayaan tetap bisa dilaksanakan, kalau perlu persiapan belajar di lembaga informal luar sekolah tetap bisa optimal. Sehingga proses dan hasil yang berkualitas tetap menjadi frame bersama

Penulis menyimpulkan, dengan berubah tidak nya kurikulum yang ada sampai berdampak kepada perubahan ketentuan kelulusan ujian nasional, tidak menghilangkan semangat perubahan pendidikan Indonesia kearah yang lebih baik, sistem hanya sebagian cara manusia untuk bertransformasi sesuai kebutuhan dan tantangan zaman, yang menjadi pelaku utamanya adalah manusia itu sendiri dalam hal ini guru tetap harus menyuguhkan pendidikan yang berkualitas, murid tetap bersemangat dan memiliki jiwa kompetitif. Pendidikan bukan hanya berorientasi hasil tapi yang terpenting proses yang dijalankan harus berbasis kualitas dan produktivitas dalam menyogsong generasi emas 2045.

Pesan kepada seluruh siswa Indonesia!

“Selamat berjuang Ujian Nasional 2015, pegang teguh nilai kejujuran karena dengan kita jujur itu secara disadari merupakan usaha kita untuk memperbaiki pendidikan kita, Negara kita dan jawaban atas segala masalah yang dihadapi,  bukankah banyak di Indonesia orang pintar, cerdas dan hebat tetapi tidak jujur sehingga banyak yang menjadi koruptor dan merusak mental dan martabat bangsa, Ingat! Allah maha melihat apa yang kita kerjakan”

You might also like